Kedudukan Akhlak Mulia dalam Islam
Kedudukan Akhlak Mulia dalam Islam merupakan kajian Islam yang disampaikan oleh: Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan, M.A. dalam pembahasan Amalan-Amalan Hati. Kajian ini disampaikan pada Jumat, 2 Jumadil Awal 1447 H / 24 Oktober 2025 M.
Kajian Tentang Kedudukan Akhlak Mulia dalam Islam
Akhlak merupakan bagian tak terpisahkan dari agama, yang menjadi perhatian utama Islam. Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa misi utama beliau diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk menyempurnakan akhlak.
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Oleh karena itu, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā memuji Nabi kita yang mulia ‘alaihiṣ-ṣalātu was-salām dengan akhlak yang agung.
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4)
Menurut Imam Ibnu Qayyim Rahimahullahu Ta’ala, makna ayat ini adalah: “Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, sungguh berada di atas akhlak yang telah Allah pilihkan untukmu dan yang diutamakan oleh Allah bagimu di dalam Al-Qur’an.”
Istri Nabi, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu ia menjawab,
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Maknanya, seluruh perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an beliau laksanakan, dan larangan di dalamnya beliau tinggalkan. Dengan demikian, beliau ‘Alaihish Shalatu was Salam mencerminkan kandungan Al-Qur’an secara menyeluruh dalam perkataan, perbuatan, perilaku, dan sikapnya.
Kumpulan Akhlak Mulia
Imam Ibnu Qayyim Rahimahullahu Ta’ala menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengumpulkan semua akhlak yang mulia bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam firman-Nya:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’rāf [7]: 199)
Tiga perkara yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini merupakan kumpulan dari akhlak-akhlak mulia.
1. Khudzil ‘Afwa (Berikan Kemaafan)
Berikan kemaafan jika ada seseorang yang berbuat kesalahan, dengan catatan hal itu tidak berkaitan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah perintahkan, “Khudzil ‘afwa,” berikan kemaafan.
Memang tidak mudah untuk memaafkan. Dalam diri manusia ada dorongan nafsu dan keinginan jiwa untuk membalas, ingin melampiaskan amarah, dan menganggap disakiti sebagai penghinaan. Namun, jika dipandang dari sisi agama, akhlak mulia, dan orientasi ukhrawi (akhirat) serta ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, memaafkan menjadi sesuatu yang ringan.
Tatkala seseorang memaafkan, Allah akan memaafkan dirinya. Tidakkah kita menginginkan Allah memaafkan dan mengampuni dosa-dosa kita?
أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ
“Tidakkah kamu suka jika Allah mengampunimu?” (QS. An-Nūr [24]: 22)
Apabila interaksi kita bersama manusia memiliki orientasi ukhrawi, bahwa berbuat kebaikan tidak akan sia-sia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka memaafkan merupakan salah satu pintu kebaikan. Balasan kebaikan adalah kebaikan yang setimpal, bahkan lebih.
هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ
“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Raḥmān [55]: 60)
2. Wa’mur bil-‘Urfi (Perintahkan kepada Kebaikan)
Perintahkanlah kepada kebaikan, yaitu ajak kepada kebaikan (ma’ruf).
3. Wa’Ariḍ ‘anil-Jāhilīn (Berpaling dari Orang yang Bodoh)
Di dunia ini, populasi yang mendominasi adalah kebodohan (jāhil). Perilaku orang yang bodoh tidak berdasarkan tinjauan sikap yang bijak, sebab kebodohan adalah sumber seluruh kejahatan. Orang yang bodoh akan mengganggu, menzalimi, mencaci, dan lain-lain, karena dalam berinteraksi mereka menggunakan emosi, bukan akal sehat. Mereka bertutur kata dan bersikap tanpa ilmu, menyelesaikan masalah tanpa ilmu, dan hanya didominasi oleh kejahilan (kebodohan).
Kebodohan melahirkan kejahatan. Maka, kata Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya, “berpalinglah dari orang yang bodoh,” jangan dihadapi. Seorang yang cerdas dan bijak bila menghadapi orang yang bodoh dan tidak berpaling, pasti akan terjerumus ke dalam perilaku yang serupa atau mendekati perilakunya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang Nabi yang telah dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sungguh berada di atas tingkat tertinggi dalam akhlak yang mulia.
Cerminan Akhlak Mulia Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan,
خَدَمْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَشْرَ سِنِينَ، فَمَا قَالَ لِي أُفٍّ قَطُّ، وَمَا قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ، لِمَ صَنَعْتَهُ، وَلا لِشَيْءٍ تَرَكْتُهُ، لِمَ تَرَكْتَهُ؟ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ خُلُقًا، وَلا مَسَسْتُ خَزًّا وَلا حَرِيرًا، وَلا شَيْئًا كَانَ أَلْيَنَ مِنْ كَفِّ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَلا شَمَمْتُ مِسْكًا قَطُّ، وَلا عِطْرًا كَانَ أَطْيَبَ مِنْ عَرَقِ رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Aku telah melayani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama sepuluh tahun, dan beliau tidak pernah berkata ‘uf’ kepadaku sama sekali. Beliau juga tidak pernah berkata kepadaku tentang sesuatu yang kulakukan, ‘Mengapa engkau melakukan hal itu?’, dan tidak pula tentang sesuatu yang kutinggalkan, ‘Mengapa engkau meninggalkannya?’.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Aku tidak pernah menyentuh kain sutra kasar maupun sutra halus, dan tidak pula sesuatu yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan aku tidak pernah mencium minyak kasturi (misik) atau wewangian apa pun yang lebih harum daripada keringat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Kepribadian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut mencerminkan sikap beliau sebagai uswah dan qudwah (teladan) bagi umat Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan pula tentang sikap beliau yang sangat menyayangi dan berusaha memberikan yang terbaik bagi umat ini. Bagi beliau, sesuatu yang memberatkan umatnya adalah hal yang berat bagi diri beliau.
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9]: 128)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (QS. Ali Imran [3]: 159)
Begitu banyak keutamaan akhlak yang mulia. Akhlak yang baik akan memengaruhi hati, dan hati yang suci akan melahirkan akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia dan kesucian hati adalah dua hal yang saling bertalian dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk memperbaiki hati adalah dengan memperbaiki akhlak.
Hakikat Akhlak yang Mulia
Al Imam Ibnu Qayyim Rahimahullahu Ta’ala menjelaskan:
“Agama ini semuanya adalah akhlak yang baik. Barang siapa yang bertambah akhlaknya kepadamu, maka sungguh bertambah pula agamanya.”
Ini menunjukkan bahwa cerminan agama seseorang adalah akhlaknya. Seluruh syariat Islam—akidah dan akhlaknya—menunjukkan kemuliaan dan kebaikan, mengajak untuk menjadi pribadi yang berakhlak mulia, dan mencegah dari perilaku tercela.
Imam Ibnu Qayyim Rahimahullahu Ta’ala memberikan penjelasan mengenai definisi akhlak yang mulia. Dikatakan bahwa hakikat dari akhlak yang mulia adalah tiga hal:
“Hakikat akhlak mulia adalah memberikan kebaikan, menahan diri dari gangguan, sabar menghadapi gangguan.”
1. Badzlun Nada (Memberikan Kebaikan)
Memberikan kebaikan dalam artian seluas-luasnya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Kebaikan itu dapat berupa lisan (tutur kata), perbuatan, harta, kedudukan, ilmu, keahlian, atau kelebihan lain yang dimiliki. Menyebarkan kebaikan agar bermanfaat bagi orang lain adalah bagian dari akhlak mulia.
2. Kafful Adza (Menahan Diri dari Melakukan Gangguan)
Menahan diri dari melakukan kejahatan, kejelekan, dan gangguan. Sikap ini berarti menjauhi hal-hal buruk dan menutup pintu-pintu kejahatan, baik yang bersumber dari lisan, perbuatan, atau bahkan harta. Sebagian orang menggunakan harta atau kedudukannya untuk mendukung kemaksiatan, merongrong kebaikan, menzalimi orang lain, atau berbuat kejelekan. Akhlak mulia menuntut penahanan diri dari semua bentuk keburukan tersebut. Menahan lisan agar tidak menyakiti hati manusia, tidak berdusta, menyebarkan tuduhan palsu, atau membuat opini negatif adalah bentuk kafful adza.
3. Ihtimalul Adza (Sabar Menghadapi Gangguan)
Sabar dalam menghadapi cobaan dan gangguan. Berinteraksi dengan manusia dalam kehidupan ini pasti menimbulkan gangguan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
…وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ…
“Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?” (QS. Al-Furqan [25]: 20)
Ihtimalul adza membutuhkan jiwa yang besar dan kepribadian yang mempertimbangkan segala konsekuensi dari setiap sikap. Ketika seseorang tidak sabar dan memilih untuk membalas, pasti ada konsekuensi negatif yang muncul. Sikap yang siap memikul dan menghadapi cobaan adalah ihtimalul adza.
Download MP3 Kajian Kedermawanan
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55719-kedudukan-akhlak-mulia-dalam-islam/